Halaman

Jumat, 14 Desember 2012

Dongeng dan Psikologi Anak Usia Dini


Mungkin sebagian besar orang tua maupun pendidik di lembaga pendidikan seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) maupun Taman Kanak-Kanak mulai agak bosan dengan hal ini. Kira-kira apa ya hal itu?. Hal itu tidak lain adalah dongeng atau cerita. Kebanyakan orang mulai agak malas jika dihadapkan dengan dongeng bagi anak mereka. Kebanyakan dari mereka lebih senang membiarkan anak mereka duduk manis di depan Televisi daripada harus meminta dongeng pada orang tua. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan semakin maraknya acara anak-anak menjadi nilai lebih bagi Televisi.
Kendati demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya bisa memikat dan mendatangkan banyak manfaat, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini.
Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.
Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seprti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai dengan tidak bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak.
Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya.
Tidak ada batasan usia yang ketat mengenai kapan sebaiknya anak dapat mulai diberi dongeng. Untuk anak-anak usia prasekolah, dongeng dapat membantu mengembangkan kosa kata. Hanya saja cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui anak sehari-hari. Misalnya dongeng-dongeng tentang binatang. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita yang mengandung teladan, nilai dan pesan moral serta problem solving. Harapannya nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya rangsang imajinatifnya, tapi juga kesadaran dan kemampuan pendongeng untuk menyajikannya secara menarik. Untuk itu kita dapat menggunakan berbagai alat bantu seperti boneka atau berbagai buku cerita sebagai sumber yang dapat dibaca oleh orang tua sebelum mendongeng.
Dapat disimpulkan manfaat Dongeng untuk anak adalah :
1. Mengasah daya pikir dan imajinasi
2. Menanamkan berbagi nilai dan etika
3. Menumbuhkan minat baca
Mengingat begitu pentingnya dongeng bagi perkembangan anak dan juga psikologi anak, semestinya para pendidik di rumah maupun di lembaga tetap mempertahankan tradisi mendongeng pada anak-anak. Mendongeng bukanlah hal yang sia-sia jika dilakukan dengan benar dan menarik. Dongeng juga bisa menjadi media belajar anak anda baik secara langsung maupun tidak langsung.
KONSEP BERMAIN BAGI ANAK USIA DINI

A.   PENDAHULUAN      
Pendidikan bagi anak usia dini atau anak usia 0-8 tahun, sejak lama telah menjadi perhatian para orang tua, para ahli pendidikan, dan pemerintah. Hal ini karena begitu bermakna dan menentukan pendidikan pada masa usia dini tersebut bagi jenjang pendidikan dan perkembangannya di masa depan. Pada masa ini pendidikan, sesuai  dengan watak anak, berlangsung dalam bentuk permainan. Karena itu, melarang  bermain bagi anak sama dengan melarang anak belajar.
Dalam kehidupan masyarakat banyak dijumpai para orang tua yang kurang atau tidak menyadari betapa pentingnya masalah bermain ini bagi tumbuh kembang anak, sehingga para orang tua tidak pernah memberikan perhatian, apalagi secara terencana untuk memfasilitasi kecenderungan tabiat bermain anak tersebut, apalagi secara terprogram. Bahkan tidak jarang orang tua tidak sabar dan merasa kesal bila melihat anaknya bermain dengan mengacak-acak barang  yang dimainkannya.
Tidak jarang orang tua memilih agar rumahnya tetap tampak rapih, tidak  disentuh-sentuh, dicorat coret dan atau membatasi anaknya yang akan bermain, sehingga tanpa disadari bahwa secara substansial ia telah mengabaikan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Akibatnya, banyak potensi anak yang semestinya berkembang dengan baik akan mengalami hambatan dan bahkan mati.
Tulisan sederhana ini akan mengetengahkan tentang kapan waktu yang tepat bagi anak untuk bermain dan pertama mendapatkan pendidikan, bagaimana konsep bermain yang dikemukakan oleh para tokoh, baik dari tokoh klasik, modern dan kontemporer, dan sebagainya sehingga dapat menjadi media diskusi bagi para pendidik dan orang tua  bagaimana sebaiknya menangani  dan mendidik anak pada usia dini. 

B.   PERKEMBANGAN KOSEP BERMAIN  
Walaupun para ilmuwan sulit untuk mengetahui kapan pendidikan anak usia dini dilaksanakan untuk pertama kali, namun diperkirakan sejak para ahli filsafat seperti Plato ( 427-374 B.C ) dan Aristoteles ( 394-332 B.C ) pendidikan ini telah dilaksanakan ( Seefeldt dan Barbour, 1994:2 ).
Plato mengemukakan bahwa waktu yang paling tepat untuk pendidikan anak adalah sebelum usia 6 tahun. Menurut Comenius, pendidikan anak itu berlangsung sejalan dengan bermain karena bermain adalah realisasi dari pengembangan diri  dalam kehidupan anak. Selanjutnya Johan Pastalozi ( 1746-1827 ) berpendapat bahwa pendidikan dimulai dari rumah, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan anak pada waktu bermain dan berbagai pengalaman indera yang dialaminya.
Adapun pendapat yang menyatakan, bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar, yaitu usia tujuh tahun, ternyata tidaklah benar. Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan memperlihatkan, bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50 %, hingga usia 8 tahun mencapai 80 %. Artinya apabila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang optimal maka perkembangan otak anak tidak akan berkembang secara maksimal.
Semakin dini penanganan dan bentuk-bentuk rangsangan yang dilakukan orang tua/ pendidik terhadap anaknya maka hasilnya akan semakin baik. Sebaliknya, semakin lama (lambat) anak mendapatkan penanganan dan bentuk-bentuk rangsangan yang baik, maka semakin buruk hasilnya.
Plato adalah filsuf pertama yang memandang arti penting bermain bagi seorang anak. Plato melihat pentingnya nilai praktis yang ada dalam permainan. Misalnya pelajaran Aritmatika untuk soal pembagian akan mudah diterima oleh anak-anak dengan cara membagikan apel kepada mereka.
Sejarah perkembangan teori bermain juga berdampak positif terhadap reformasi pendidikan pada zaman realisme atau zaman baru. Zaman realisme abad 17 dipelopori oleh Johann Amos Comenius ( 1592-1670 ). Comenius yang beragama Kristen Protestan itu mempelajari teologi dan menjadi pendeta serta memimpin sekolah di Fulneck. Dia menulis buku tentang informatorium. Buku tersebut berisi tentang cara bagaimana orang tua mendidik anaknya menjadi seorang Kristen Protestan yang baik. Menurutnya seorang ibu adalah seorang pendidik di rumah, ibu harus mengajarkan dengan mengoptimalkan fungsi panca indera melalui peragaan dan mengurangi verbalisme.
Pada abad 18 atau zaman rasionalisme merupakan zaman perubahan yang hebat. Hal ini karena untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus yang hebat. Dalam hal ini, untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus dilakukan melalui percobaan, pengamatan dan pengalaman. Dalam konteks belajar sekarang ini, maka konsep belajar di atas hampir setara dengan konsep learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. 
John Lock ( 1932-1704 ) adalah seorang pedagogik. Lock menjelaskan kosep home Schooling. Anak usia dini harus dididik dan diajarkan tentang pendidikan jasmani, pendidikan scholastik, pendidikan moral, pendidikan agama melalui permainan.        Pemikiran Locke dianjurkan oleh Jean Jacques Rousseau ( 1712-1778 ). Ia mengajarkan pendidikan rohani, moral,  jasmani, berenang, pemahaman jender, melatih indera anak, kebebasan bermain, pengamatan, pengalaman, bahasa asing, menyanyi, menggambar pada anak usia dini melalui pengenalan alam sekitar dimana anak berada.
Henrich Pestaloozi ( 1746-1827 ) menjelaskan konsep bermain dengan praktek langsung sehingga anak mempunyai pengalaman dan latihan. Rumah adalah tempat anak bermain. Konsep bermain bagi anak usia dini mengajarkan tentang berhitung, menulis,bercakap-cakap, gerak badan, berjalan-jalan dengan bermain. Pestalozzi menjelaskan bahwa melalui bermain maka anak usia dini secara alamiah akan berusaha mengembangkan kemampuan-kemampuan dasarnya untuk belajar. Friedrich Froebel ( 1782- 1852 ) menjelaskan bahwa konsep bermain merupakan proses belajar bagi anak usia dini. Anak diajak bekerja di kebun, bermain dengan pimpinan, bernyanyi, pekerjaan tangan atau keterampilan, bersosialisasi, berfantasi, adalah merupakan proses belajar sambil bekerja. Konsep belajar seraya bermain ini sampai saat ini masih menjadi trend untuk pendidikan anak usia dini.
Abad 19 terdapat Spencer, Lazarus, G. Stanley H., Hal Groos. Dll. Teori-teori tentang bermain dapat dikelompokan dalam 2 bagian, yaitu: (1) bermain yang didasarkan pada teori surplus energi dan teori rekreasi, (2) teori rekapitulasi dan praktis. Herbert Spencer ( kakek moyang Lady Diana ) dari Inggris dalam bukunya Principles of Psychology berpendapat bahwa kegiatan bermain seperti berlari, berlompat, berguling terjadi akibat anak kelebihan energi. Sebagai contoh, Saila, umur 9 bulan, begitu ia terjaga dari tidur maka ia langsung  tertawa dan merangkak lalu berpegangan kedinding tangga dan meraih benda atau mainan apa saja yang menarik hatinya kemudian memainkannya lewat tangan, atau mulutnya sampai  bosan kemudian beralih ke  benda lain, seperti kertas dan plastik atau mainan lainnya untuk dimainkannya sampai capek dan tidur. Begitulah anak bermain dan ia belajar dari apa yang ia lihat, dengar, cium dan pegang dalam kehidupannya, seolah tanpa lelah,  karena ia memang kelebihan energi dan merasa puas bereksplorasi dengan menyenangkan.  Bila ia diganggu, dirampas apa yang ia pegang atau apa yang ia mainkan, maka ia akan menangis, kecuali diberikan benda pengganti yang sama-sama menarik untuk dirinya.
Moritz Lazarus dengan teori rekreasi menjelaskan, bahwa tujuan bermain adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bergerak atau melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu atau bekerja dapat menyebabkan berkurangnya tenaga. Tenaga ini dapat dipulihkan kembali dengan cara tidur atau melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan bekerja.
Karl Groos, seorang filsuf menguraikan bahwa  bermain berfungsi untuk memperkuat insting yang diperlukan untuk kelangsungan hidup anak di masa yang akan datang. Ia mendasarkan teorinya itu pada prinsip seleksi alamiah yang dijelaskan oleh Charles Darwin. Fungsi bermain mempunyai manfaat secara biologis untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Pada zaman modern sekarang  ini memang sudah banyak sekali para ahli pendidikan yang membicarakan tentang bermain dan hubungannya dengan perkembangan anak, antara lain:
1.      Teori Psikoanalis Sigmund Freud
2.      Teori Kognitifa, Jean Piaget, Lev Vygotsky, dst.
3.      Teori Perkembangan sosial, dls.
Peran bermain dalam  perkembangan sosial anak misalnya, menurut pandangan psikoanalisis adalah untuk mengatasi pengalaman traumatik dan keluar dari rasa frustasi. Tampaknya Freud melihatnya dalam pengalaman lahir. Dalam peristiwa kelahiran seorang bayi menyiratkan kesan tidak enak, trauma dan mungkin juga frustasi keluar dari rahim ibunya, sehingga anak akan merasa tenang dalam dekapan ibunya, dan bermain menyebabkan anak ceria dan menimbulkan kreatifitas.
Bagi Piaget, peran bermain terhadap perkembangan sosial anak adalah untuk memperaktikkan dan melakukan konsolidasi konsep-konsep serta keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya.
   Menurut Vygotsky, bermain dapat memajukan berpikir abstrak dan dengan belajar ia akan dapat mengatur dirinya.
Dalam teori  perkembangan  sosial, seperti yang dikemukakan oleh Mildred Farten, menyatakan bahwa kegiatan bermain merupakan sarana sosialisasi. Dengan bermain kadar interaksi sosialnya akan  meningkat. Kadar interaksi sosial tersebut dimulai dari bermain sendiri dan dilanjutkan dengan bermain secara bersama. Karena itu dalam konteks ini akan tampak, bahwa anak yang dibiasakan bermain akan lebih mudah menerima kehadiran orang lain dan berinteraksi dengan orang lain. Semakin banyak ia disosialisasikan dengan orang lain, maka akan semakin mudah ia berinteraksi dengan dan menerima (kehadiran) orang lain.
Dalam kontes agama Islam, setelah persalinan  anak  akan diadzankan oleh orang tuanya kemudian setelah tujuh hari ia akan diberi nama dan diakekahkan serta dipotong rambutnya di hadapan undangan yang diiringi dengan lagu-lagu pujian. Semua itu akan sangat menyenangkan bagi anak dan merupakan pengalaman interaksi sosial yang sangat baik dari proses sosialisasi.

C.          MAKNA BERMAIN
Para ahli mendefinisikan bermain sebagai suatu perilaku yang mengandung motivasi internal yang berorientasi pada proses yang dipilih secara bebas dan bukan hanya prilaku pura-pura yang berorientasi pada suatu tujuan menyenangkan yang diperintahkan. Kegiatan bermain ini adalah fungsi dari seluruh manusia.Sandra J, Stone (1993). Karena itu,  bermain dilakukan oleh siapa saja di berbagai belahan dunia, baik laki-laki maupun perempuan dari anak-anak sampai orang dewasa. Stone mengatakan bahwa bermain ada di setiap   negara, budaya, bahasa, dimana saja anak-anak dunia bermain.   
Menurut Karl Buhler dan Schenk Danziger,  bermain adalah ”kegiatan yang menimbulkan kenikmatan”. Dan kenikmatan itu menjadi rangsangan bagi perilaku lainnya. Ketika anak-anak mulai mampu berbicara dan berfantasi, misalnya, fungsi kenikmatan meluas menjadi schaffensfreude (kenikmatan berkreasi). Konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh Charlotte Buhler yang menganggap bermain sebagai pemicu kreativitas. Menurutnya anak yang banyak bermain akan meningkatkan kreativitasnya.
Kendati bermain bukanlah bekerja dan tidak sungguh-sungguh,  Sigmund Freud yakin bahwa anak-anak menganggap bermain sebagai sesuatu yang serius. Dalam bermain anak-anak menumpahkan seluruh perasaannya. Bahkan mampu ”mengatur dunia dalamnya” agar sesuai  dengan ”dunia luar”.  Ia berusaha mengatur, menguasai, berpikir dan berencana. Karenanya menurut Erik Erikson, bermain berfungsi memelihara ego anak-anak. Hal ini dapat dipahami karena anak yang sedang bermain merasakan senang sehingga terpaksa ia harus mempertahankan kesenangannya itu atau sebaliknya ia akan memelihara egonya secara proporsional, sehingga menimbulkan rasionalitas dan tenggang rasa terhadap anak lainnya.  Semakin intens pengalaman itu dilalui anak akan semakin kuat juga interaksi sosialnya dalam proses sosialisasi tersebut.
Jean Piaget menyatakan, bahwa bermain menunjukkan dua realitas anak-anak, yaitu adaptasi terhadap apa yang sudah mereka ketahui dan respon mereka terhadap hal-hal baru. Dalam bermain, sarana sering menjadi tujuan. Banyak respon muncul, ya demi respon itu sendiri. Anak berlari, misalnya, bukan demi kesehatan tetapi demi lari itu sendiri. Lari ya lari, titik.
Jadi bagi anak, bermain adalah sarana untuk mengubah kekuatan  potensial di dalam  diri menjadi berbagai kemampuan dan kecakapan. Bermain juga bisa menjadi sarana penyaluran kelebihan energi dan relaksasi.
                                                                                         

anak hiperaktif


Jangan Cemas Punya Anak Hiperaktif


 Anak hiperaktif biasanya susah memusatkan perhatian, bereaksi cepat tanpa pikir panjang dan beraktifitas fisik yang berlebihan. Banyak orangtua yang kadang menyerah memiliki anak hiperaktif. Tapi jangan khawatir, anak hiperaktif juga bisa dikendalikan dan tak kalah pintar dari anak normal.
Di Indonesia, sekitar 10 persen anak usia Sekolah Dasar (SD) mengalami perilaku hiperaktif. Anak hiperaktif menunjuk pada ketidakmampuan untuk mengontrol perilaku, sehingga aktivitas melebihi rata-rata anak pada umumnya. Perilaku hiperaktif ini dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain sebab kadangkala anak tidak bisa memperkirakan dampak akibat dari perilakunya.
"Anak yang hiperaktif tidak selalu identik dengan bodoh atau kurang pintar. Anak tersebut hanya tidak bisa memusatkan perhatiannya dengan baik," kata Dr. M.G. Adiyanti, M.S., psikolog anak dari Fakultas Psikologi UGM seusai seminar "Apakah Anak Saya Hiperaktif?” di Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (9/7/2011).

Adiyanti mengatakan anak hiperaktif berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas-tugas yang terstruktur, sehingga sang anak membutuhkan keteraturan dan ketekunan berkesinambungan. Di sekolah, hal yang banyak ditemui adalah kegagalan dalam mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dalam pergaulan sehari-hari, anak hiperaktif seringkali mengalamai kesulitan terutama dalam mempertahankan pertemanan.
Menurut dia, hiperaktivitas memiliki tiga gejala utama. Pertama, in-atensi yakni tidak dapat memusatkan perhatian. Kedua, impulsivitas atau mereaksi dengan cepat tanpa harus berpikir panjang. Ketiga hiperaktivitas, yakni aktivitas fisik yang berlebihan diatas usia rata-rata anak seusianya.
Selain faktor fisiologis dan neurologis kata dia, dampak pola konsumsi obat tertentu menjadi faktor yang terjadinya hiperaktivitas. Jika penyebab keduanya tidak ditemukan, kemungkinan anak tersebut tidak mendapatkan cara pendidikan norma perilaku secara tepat.
"Untuk mengatasinya, orang tua dan guru di sekolah harus mampu mengatur pola komunikasi dengan anak secara baik. Kebiasaan bertindak kasar dan bersuara keras pada anak sebaiknya dihindarkan," katanya.
Sementara itu menurut dokter spesialis anak, dr. Ratih SPA, anak hiperaktif terjadi akibat gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hal itu terjado pada 4-6 persen anak usia sekolah dan 2-4 persen pada usia dewasa.
"Lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita. Umumnya pada anak sebelum usia 7 tahun," kata Ratih.
Ratih mengatakan tujuh faktor yang menjadi penyebab anak jadi hiperaktif yakni faktor genetik, diet gula dan zat pengawet, pola asuh yang buruk, masalah keluarga, sekolah yang tidak efektif, adanya pengaruh rokok dan alkohol saat kehamilan serta adanya perlukaan di otak.
Untuk mengetahui anak hiperaktif atau tidaknya, maka orang tua harus mengetahui gejala anak hiperaktif ditandai perilaku mudah frustasi, mudah menangis, overaksi dan cepat marah. Selanjutnya, ditunjukkan rasa percaya diri yang rendah, sulit berteman, sulit beradaptasi dan kurang matang secara sosial.
"Kalau ada anak yang hiperaktif, selain perlu terapi konseling dan obat-obatan, perlu juga adanya peran orang tua dan sekolah dalam memberi pendidikan yang baik pada anak," katanya.
Ratih mengatakan untuk mencegah anak jadi hiperaktif, orangtua disarankan untuk selalu menghargai anak apa adanya. Salah satu cara adalah habiskan waktu lebih banyak dengan anak. Selalu berbicara lembut dan gunakan bahasa yang positif. "Namun tidak mentolerir perilaku yang tidak sesuai," katanya.
Menurut Ratih anak hiperaktif tidak bisa sembuh hanya dengan cara diobati. Namun butuh terapi dari psikolog, dokter anak, tim tumbuh kembang anak, dukungan keluarga dan guru sekolah yang baik. Dengan perawatan yang terintegerasi maka anak hiperakif bisa dikendalikan.
"Anak yang hiperaktif bisa menjadi anak yang tidak kalah sukses jika hiperaktif dapat terkontrol, dan bisa bersosialisasi dan disiplin yang baik," pungkas Ratih.

bermain bagi anak usia dini

KONSEP BERMAIN BAGI ANAK USIA DINI


A.   PENDAHULUAN      
Pendidikan bagi anak usia dini atau anak usia 0-8 tahun, sejak lama telah menjadi perhatian para orang tua, para ahli pendidikan, dan pemerintah. Hal ini karena begitu bermakna dan menentukan pendidikan pada masa usia dini tersebut bagi jenjang pendidikan dan perkembangannya di masa depan. Pada masa ini pendidikan, sesuai  dengan watak anak, berlangsung dalam bentuk permainan. Karena itu, melarang  bermain bagi anak sama dengan melarang anak belajar.
Dalam kehidupan masyarakat banyak dijumpai para orang tua yang kurang atau tidak menyadari betapa pentingnya masalah bermain ini bagi tumbuh kembang anak, sehingga para orang tua tidak pernah memberikan perhatian, apalagi secara terencana untuk memfasilitasi kecenderungan tabiat bermain anak tersebut, apalagi secara terprogram. Bahkan tidak jarang orang tua tidak sabar dan merasa kesal bila melihat anaknya bermain dengan mengacak-acak barang  yang dimainkannya.
Tidak jarang orang tua memilih agar rumahnya tetap tampak rapih, tidak  disentuh-sentuh, dicorat coret dan atau membatasi anaknya yang akan bermain, sehingga tanpa disadari bahwa secara substansial ia telah mengabaikan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Akibatnya, banyak potensi anak yang semestinya berkembang dengan baik akan mengalami hambatan dan bahkan mati.
Tulisan sederhana ini akan mengetengahkan tentang kapan waktu yang tepat bagi anak untuk bermain dan pertama mendapatkan pendidikan, bagaimana konsep bermain yang dikemukakan oleh para tokoh, baik dari tokoh klasik, modern dan kontemporer, dan sebagainya sehingga dapat menjadi media diskusi bagi para pendidik dan orang tua  bagaimana sebaiknya menangani  dan mendidik anak pada usia dini. 

B.   PERKEMBANGAN KOSEP BERMAIN  
Walaupun para ilmuwan sulit untuk mengetahui kapan pendidikan anak usia dini dilaksanakan untuk pertama kali, namun diperkirakan sejak para ahli filsafat seperti Plato ( 427-374 B.C ) dan Aristoteles ( 394-332 B.C ) pendidikan ini telah dilaksanakan ( Seefeldt dan Barbour, 1994:2 ).
Plato mengemukakan bahwa waktu yang paling tepat untuk pendidikan anak adalah sebelum usia 6 tahun. Menurut Comenius, pendidikan anak itu berlangsung sejalan dengan bermain karena bermain adalah realisasi dari pengembangan diri  dalam kehidupan anak. Selanjutnya Johan Pastalozi ( 1746-1827 ) berpendapat bahwa pendidikan dimulai dari rumah, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan anak pada waktu bermain dan berbagai pengalaman indera yang dialaminya.
Adapun pendapat yang menyatakan, bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar, yaitu usia tujuh tahun, ternyata tidaklah benar. Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan memperlihatkan, bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50 %, hingga usia 8 tahun mencapai 80 %. Artinya apabila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang optimal maka perkembangan otak anak tidak akan berkembang secara maksimal.
Semakin dini penanganan dan bentuk-bentuk rangsangan yang dilakukan orang tua/ pendidik terhadap anaknya maka hasilnya akan semakin baik. Sebaliknya, semakin lama (lambat) anak mendapatkan penanganan dan bentuk-bentuk rangsangan yang baik, maka semakin buruk hasilnya.
Plato adalah filsuf pertama yang memandang arti penting bermain bagi seorang anak. Plato melihat pentingnya nilai praktis yang ada dalam permainan. Misalnya pelajaran Aritmatika untuk soal pembagian akan mudah diterima oleh anak-anak dengan cara membagikan apel kepada mereka.
Sejarah perkembangan teori bermain juga berdampak positif terhadap reformasi pendidikan pada zaman realisme atau zaman baru. Zaman realisme abad 17 dipelopori oleh Johann Amos Comenius ( 1592-1670 ). Comenius yang beragama Kristen Protestan itu mempelajari teologi dan menjadi pendeta serta memimpin sekolah di Fulneck. Dia menulis buku tentang informatorium. Buku tersebut berisi tentang cara bagaimana orang tua mendidik anaknya menjadi seorang Kristen Protestan yang baik. Menurutnya seorang ibu adalah seorang pendidik di rumah, ibu harus mengajarkan dengan mengoptimalkan fungsi panca indera melalui peragaan dan mengurangi verbalisme.
Pada abad 18 atau zaman rasionalisme merupakan zaman perubahan yang hebat. Hal ini karena untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus yang hebat. Dalam hal ini, untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus dilakukan melalui percobaan, pengamatan dan pengalaman. Dalam konteks belajar sekarang ini, maka konsep belajar di atas hampir setara dengan konsep learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. 
John Lock ( 1932-1704 ) adalah seorang pedagogik. Lock menjelaskan kosep home Schooling. Anak usia dini harus dididik dan diajarkan tentang pendidikan jasmani, pendidikan scholastik, pendidikan moral, pendidikan agama melalui permainan.        Pemikiran Locke dianjurkan oleh Jean Jacques Rousseau ( 1712-1778 ). Ia mengajarkan pendidikan rohani, moral,  jasmani, berenang, pemahaman jender, melatih indera anak, kebebasan bermain, pengamatan, pengalaman, bahasa asing, menyanyi, menggambar pada anak usia dini melalui pengenalan alam sekitar dimana anak berada.
Henrich Pestaloozi ( 1746-1827 ) menjelaskan konsep bermain dengan praktek langsung sehingga anak mempunyai pengalaman dan latihan. Rumah adalah tempat anak bermain. Konsep bermain bagi anak usia dini mengajarkan tentang berhitung, menulis,bercakap-cakap, gerak badan, berjalan-jalan dengan bermain. Pestalozzi menjelaskan bahwa melalui bermain maka anak usia dini secara alamiah akan berusaha mengembangkan kemampuan-kemampuan dasarnya untuk belajar. Friedrich Froebel ( 1782- 1852 ) menjelaskan bahwa konsep bermain merupakan proses belajar bagi anak usia dini. Anak diajak bekerja di kebun, bermain dengan pimpinan, bernyanyi, pekerjaan tangan atau keterampilan, bersosialisasi, berfantasi, adalah merupakan proses belajar sambil bekerja. Konsep belajar seraya bermain ini sampai saat ini masih menjadi trend untuk pendidikan anak usia dini.
Abad 19 terdapat Spencer, Lazarus, G. Stanley H., Hal Groos. Dll. Teori-teori tentang bermain dapat dikelompokan dalam 2 bagian, yaitu: (1) bermain yang didasarkan pada teori surplus energi dan teori rekreasi, (2) teori rekapitulasi dan praktis. Herbert Spencer ( kakek moyang Lady Diana ) dari Inggris dalam bukunya Principles of Psychology berpendapat bahwa kegiatan bermain seperti berlari, berlompat, berguling terjadi akibat anak kelebihan energi. Sebagai contoh, Saila, umur 9 bulan, begitu ia terjaga dari tidur maka ia langsung  tertawa dan merangkak lalu berpegangan kedinding tangga dan meraih benda atau mainan apa saja yang menarik hatinya kemudian memainkannya lewat tangan, atau mulutnya sampai  bosan kemudian beralih ke  benda lain, seperti kertas dan plastik atau mainan lainnya untuk dimainkannya sampai capek dan tidur. Begitulah anak bermain dan ia belajar dari apa yang ia lihat, dengar, cium dan pegang dalam kehidupannya, seolah tanpa lelah,  karena ia memang kelebihan energi dan merasa puas bereksplorasi dengan menyenangkan.  Bila ia diganggu, dirampas apa yang ia pegang atau apa yang ia mainkan, maka ia akan menangis, kecuali diberikan benda pengganti yang sama-sama menarik untuk dirinya.
Moritz Lazarus dengan teori rekreasi menjelaskan, bahwa tujuan bermain adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bergerak atau melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu atau bekerja dapat menyebabkan berkurangnya tenaga. Tenaga ini dapat dipulihkan kembali dengan cara tidur atau melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan bekerja.
Karl Groos, seorang filsuf menguraikan bahwa  bermain berfungsi untuk memperkuat insting yang diperlukan untuk kelangsungan hidup anak di masa yang akan datang. Ia mendasarkan teorinya itu pada prinsip seleksi alamiah yang dijelaskan oleh Charles Darwin. Fungsi bermain mempunyai manfaat secara biologis untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Pada zaman modern sekarang  ini memang sudah banyak sekali para ahli pendidikan yang membicarakan tentang bermain dan hubungannya dengan perkembangan anak, antara lain:
1.      Teori Psikoanalis Sigmund Freud
2.      Teori Kognitifa, Jean Piaget, Lev Vygotsky, dst.
3.      Teori Perkembangan sosial, dls.
Peran bermain dalam  perkembangan sosial anak misalnya, menurut pandangan psikoanalisis adalah untuk mengatasi pengalaman traumatik dan keluar dari rasa frustasi. Tampaknya Freud melihatnya dalam pengalaman lahir. Dalam peristiwa kelahiran seorang bayi menyiratkan kesan tidak enak, trauma dan mungkin juga frustasi keluar dari rahim ibunya, sehingga anak akan merasa tenang dalam dekapan ibunya, dan bermain menyebabkan anak ceria dan menimbulkan kreatifitas.
Bagi Piaget, peran bermain terhadap perkembangan sosial anak adalah untuk memperaktikkan dan melakukan konsolidasi konsep-konsep serta keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya.
   Menurut Vygotsky, bermain dapat memajukan berpikir abstrak dan dengan belajar ia akan dapat mengatur dirinya.
Dalam teori  perkembangan  sosial, seperti yang dikemukakan oleh Mildred Farten, menyatakan bahwa kegiatan bermain merupakan sarana sosialisasi. Dengan bermain kadar interaksi sosialnya akan  meningkat. Kadar interaksi sosial tersebut dimulai dari bermain sendiri dan dilanjutkan dengan bermain secara bersama. Karena itu dalam konteks ini akan tampak, bahwa anak yang dibiasakan bermain akan lebih mudah menerima kehadiran orang lain dan berinteraksi dengan orang lain. Semakin banyak ia disosialisasikan dengan orang lain, maka akan semakin mudah ia berinteraksi dengan dan menerima (kehadiran) orang lain.
Dalam kontes agama Islam, setelah persalinan  anak  akan diadzankan oleh orang tuanya kemudian setelah tujuh hari ia akan diberi nama dan diakekahkan serta dipotong rambutnya di hadapan undangan yang diiringi dengan lagu-lagu pujian. Semua itu akan sangat menyenangkan bagi anak dan merupakan pengalaman interaksi sosial yang sangat baik dari proses sosialisasi.

C.          MAKNA BERMAIN
Para ahli mendefinisikan bermain sebagai suatu perilaku yang mengandung motivasi internal yang berorientasi pada proses yang dipilih secara bebas dan bukan hanya prilaku pura-pura yang berorientasi pada suatu tujuan menyenangkan yang diperintahkan. Kegiatan bermain ini adalah fungsi dari seluruh manusia.Sandra J, Stone (1993). Karena itu,  bermain dilakukan oleh siapa saja di berbagai belahan dunia, baik laki-laki maupun perempuan dari anak-anak sampai orang dewasa. Stone mengatakan bahwa bermain ada di setiap   negara, budaya, bahasa, dimana saja anak-anak dunia bermain.   
Menurut Karl Buhler dan Schenk Danziger,  bermain adalah ”kegiatan yang menimbulkan kenikmatan”. Dan kenikmatan itu menjadi rangsangan bagi perilaku lainnya. Ketika anak-anak mulai mampu berbicara dan berfantasi, misalnya, fungsi kenikmatan meluas menjadi schaffensfreude (kenikmatan berkreasi). Konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh Charlotte Buhler yang menganggap bermain sebagai pemicu kreativitas. Menurutnya anak yang banyak bermain akan meningkatkan kreativitasnya.
Kendati bermain bukanlah bekerja dan tidak sungguh-sungguh,  Sigmund Freud yakin bahwa anak-anak menganggap bermain sebagai sesuatu yang serius. Dalam bermain anak-anak menumpahkan seluruh perasaannya. Bahkan mampu ”mengatur dunia dalamnya” agar sesuai  dengan ”dunia luar”.  Ia berusaha mengatur, menguasai, berpikir dan berencana. Karenanya menurut Erik Erikson, bermain berfungsi memelihara ego anak-anak. Hal ini dapat dipahami karena anak yang sedang bermain merasakan senang sehingga terpaksa ia harus mempertahankan kesenangannya itu atau sebaliknya ia akan memelihara egonya secara proporsional, sehingga menimbulkan rasionalitas dan tenggang rasa terhadap anak lainnya.  Semakin intens pengalaman itu dilalui anak akan semakin kuat juga interaksi sosialnya dalam proses sosialisasi tersebut.
Jean Piaget menyatakan, bahwa bermain menunjukkan dua realitas anak-anak, yaitu adaptasi terhadap apa yang sudah mereka ketahui dan respon mereka terhadap hal-hal baru. Dalam bermain, sarana sering menjadi tujuan. Banyak respon muncul, ya demi respon itu sendiri. Anak berlari, misalnya, bukan demi kesehatan tetapi demi lari itu sendiri. Lari ya lari, titik.
Jadi bagi anak, bermain adalah sarana untuk mengubah kekuatan  potensial di dalam  diri menjadi berbagai kemampuan dan kecakapan. Bermain juga bisa menjadi sarana penyaluran kelebihan energi dan relaksasi.
                                                                                         

kesehatan dan gizi anak usia din

KESEHATAN DAN GIZI ANAK USIA DINI


Kesehatan dan gizi anak sangatlah penting untuk diperhatikan, sejak dari dalam kandungan hingga lahir. Hal ini dikarenakan, kesehatan dan gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang mendapatkan gizi yang seimbang serta makanan yang sehat, akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas, begitu pula sebaliknya.


Menurut Santrock (2007:157) pada umumnya masalah kesehatan yang sering dialami anak-anak adalah kurang gizi, pola makan, kurang olahraga, dan pelecehan. Di dalam penelitian Pollitt dkk, telah dinyatakan bahwa, gizi sangat mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Masalah pola makan sangat berkaitan erat dengan hal ini. Apalagi sekarang ini, sudah banyak makanan yang cepat saji (instan). Yang di dalamnya terdapat zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia bila dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contoh, seorang anak sering menghantam-hantamkan kepalanya ke tembok ketika menerima pelajaran matematika di dalam kelas. Ternyata setelah ditanya-tanya oleh gurunya, dia merasa pusing ketika menerima pelajaran yang berhubungan dengan angka. Dia merasa kesulitan untuk menghitung. Lama-kelamaanpun guru menjadi tahu kalau dia mengonsumsi mie instan setiap pagi untuk sarapan setiap harinya. Dan itu berlangsung dalam jangka waktu lama. Hal inilah yang menyebabkan anak merasa pusing dan melakukan tingkah laku seperti itu dengan alasan bisa sedikit mengurangi rasa pusingnya. Di dalam mie instan terdapat zat pengawet, zat pewarna dan penyedap. Yang apabila di konsumsi secara terus menerus akan menyebabkan perkembangan kognitif anak akan terganggu. Selain tidak mudah menerima materi yang disampaikan oleh gurunya, zat kimia tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Misalnya bisa menyebabkan kanker, namun hal ini masih dalam perbincangan di dalam masyarakat.


Di Indonesia, masih banyak masalah kesehatan gizi. Pada umumnya yang sering muncul, dan timbul di berbagai golongan tertentu adalah penyakit kurang gizi. Terutama golongan anak usia dini yang berada pada masa peka akan kecukupan gizi bagi tumbuh kembangnya. Apabila gizi yang diperlukan anak sehari-hari tidak terpenuhi, maka anak akan rentan terhadap suatu penyakit, terutama penyakit kurang gizi. Jadi, orang tua harus mengusahakan agar anaknya selalu berkecukupan gizi setiap harinya.


Perawatan kesehatan dan gizi pada anak usia dini dapat diawali dari pemberian makanan yang sehat dan menjaga kebersihan. Selain cara ini sangat baik untuk anak, dengan cara ini pula, dapat sekaligus mendidik anak untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat. Makanan yang diberikan kepada anak harus sesuai dengan kebutuhan gizi anak, kebutuhan anak, serta kebersihannya terjaga dan juga sehat. Misalnya makanan 4 sehat 5 sempurna. Di dalamnya terdapat nasi, sayur, lauk, buah dan susu. Yang masing-masing dari makanan tersebut, sangat penting dan berguna bagi tubuh manusia. Bagi anak yang mempunyai alergi terhadap makanan tertentu, berilah makanan pengganti untuk anak agar kebutuhan nutrisi sehari-harinya dapat terpenuhi.  Apabila anak susah makan, berilah makanan yang menarik hati anak. Contohnya, ibu membuat atau membentuk makanan yang lucu-lucu agar menarik hati anak. Bisa di bentuk binatang, bunga, atau yang lainnya. Selain itu, untuk menjaga kesehatan anak diperlukan juga berolahraga. Ketika berolah raga, anak menggerakkan otot-otot tubuhnya yang merupakan stimulasi bagi perkembangan motorik terutama motorik kasar. Melalui olah raga, anak belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya. Jika olahraga tersebut, berupa permainan maka anak akan belajar nilai-nilai social seperti sportifitas, kemenangan, kekalahan dan penghargaan. Anak juga akan mengenal dan mengerti yang namanya kerja sama atau gotong royong di dalam suatu permainan, apabila permainan tersebut membutuhkan anak untuk berkelompok.

Pemenuhan hak pendidikan anak usia dini

Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dan utama dalam kehidupan kita. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan, dimana dalam hal ini telah tercantum dalam pasal 31 UUD 1945. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi kita untuk menempuh pendidikan yang setinggi-tingginya. Banyak pendapat dari para ahli filsafat, tentang arti dari pendidikan itu. Tetapi secara garis besar pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan yang kita terima tidak hanya pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan in-formal, dan pendidikan non-formal.

Disebutkan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pedidikan Nasional, bahwa pendidikan akan dimulai sejak usia dini, jadi bukan lagi setelah berusia sekolah. Lebih lanjut disebutkan dalam undang-undanga tersebut (Bab I, pasal 1, butir 14) bahwa pendidikan anak usia dini merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang paling mendasar menempati posisi yang sangat strategis dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum pendidikan dasar. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia dini.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Di Indonesia pelaksanaan PAUD masih terkesan ekslusif dan baru menjangkau sebagian kecil masyarakat. Meskipun berbagai program perawatan dan pendidikan bagi anak usia dini usia (0-6 tahun) telah dilaksanakan di Indonesia sejak lama, namun hingga tahun 2000 menunjukkan anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan perawatan dan pendidikan masih rendah. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa dari sekitar 26,2 jut anak usia 0-6 tahun yang telah memperoleh layanan pendidikan dini melalui berbagai program baru sekitar 4,5 juta anak (17%). Kontribusi tertinggi melalui Bina Keluarga Balita (9,5%), Taman Kanak-kanak (6,1%), Raudhatul Atfal (1,5%). Sedangkan melalui penitipan anak dan kelompok bermain kontribusinya masing-masing sangat kecil yaitu sekitar 1% dan 0,24%.
Masih rendahnya layanan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini saat ini antara lain disebabkan masih terbatasnya jumla lembaga yang memberikan layanan pendidikan dini jika dibanding dengan jumlah anak usia 0-6 tahun yang seharusnya memperoleh layanan tersebut. Berbagai program yang ada baik langsung (melalui Bina Keluarga Balita dan Posyandu) yang telah ditempuh selama ini ternyata belum memberikan layanan secara utuh, belum bersinergi dan belum terintegrasi pelayanannya antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi. Padahal ketiga aspek tersebut sangat menentukan tingkat intelektualitas, kecerdasan dan tumbuh kembang anak.
Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia dini, yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena tingginya produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat, (4) menolong para orang tua dan anak-anak.
Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa memberikan pendidikan anak usia dini cukup dilakukan oleh orang dewasa yang tidak memerlukan pengetahuan tentang PAUD. Selain itu juga mereka menganggap PAUD tidak memerlukan profesionalisme. Pandangn tersebut adalah keliru.
Jika PAUD ingin dilakukan di rumah oleh ibu-ibu sendiri, maka ibu-ibu itu perlu belajar dan menambah pengetahuan tentang proses pembelajaran anak, misalnya dengan membaca buku, mengikuti ceramah atau seminar tentang PAUD.
Kenyataannya semakin banyak ibu-ibu bekerja di luar rumah, oleh karena itu haruslah orang yang menggantikan peran ibu tersebut memahami proses tumbuh kembang anak.
Pembelajaran pada anak usia dini adalah proses pembelajaran yang dilakukan melalui bermain. Ada lima karakteristik bermain yang esensial dalam hubungan dengan PAUD (Hughes, 1999), yaitu: meningkatkan motivasi, pilihan bebas (sendiri tanpa paksaan), non linier, menyenangkan dan pelaku terlibat secara aktif.
Bila salah satu kriteria bermain tidak terpenuhi misalnya guru mendominasi kelas dengan membuatkan contoh dan diberikan kepada anak maka proses belajar mengajar bukan lagi melalui bermain. Proses belajar mengajar seperti itu membuat guru tidak sensitif terhadap tingkat kesulitan yang dialami masing-masing anak.
Ketidaksensitifan orangtua terhadap kesulitan anak bisa juga terjadi, alasan utama yang dikemukakan biasanya karena kurangnya waktu karena orangtua bekerja di luar rumah.
Memahami perkembangan anak dapat dilakukan melalui interaksi dan interdependensi antara orangtua dan guru yang terus dilakukan agar penggalian potensi kecerdasan anak dapat optimal. Interaksi dilakukan dengan cara guru dan orangtua memahami perkembangan anak dan kemampuan dasar minimal yang perlu dimiliki anak, yaitu musikal, kinestetik tubuh, logika matematika, linguistik, spasial, interpersonal dan intrapersonal, karena pada umumnya semua orang punya tujuh intelegensi itu, tentu bervariasi tingkat skalanya.
Mengapa orang tua perlu meningkatkan intelektualitas anak demi mempersiapkan mereka masuk sekolah? Jawabannya, sekolah saat ini meminta persyaratan yang cukup tinggi dari kualitas seorang siswa. Masih didapat siswa yang masuk SD sudah diperkenalkan dengan berbagai macam pelajaran dan ilmu sejak dini. Anak-anak sudah harus memiliki kreativitas yang tinggi sejak kecil. Oleh sebab itu, anak-anak yang memiliki intelektualitas yang tinggi akan lebih mudah menerima dengan baik semua yang diajarkan. Mereka akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, lebih mudah beradaptasi, lebih mudah menerima hal-hal yang baru, atau intelektualitas anak bisa dikembangkan jauh sebelum mereka masuk ke sekolah. Kondisi seperti itulah yang menempatkan orang tua sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya dalam program pendidikan informal yang terjadi di lingkungan keluarga.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan anak usia dini adalah pemerintah (negara), masyarakat dan keluarga. Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar?dasar kepribadian anak dibangun. Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat?kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis.

Kamis, 13 Desember 2012

metode tartil



METODE TARTIL
A.    Pengenalan
Metod Tartil merupakan salah satu metod pembelajaran Al-Qur’an yang lebih praktis dan lebih cepat untuk membantu murid/pelajar membaca Al-Qur’an. Metod ini diperkenalkan oleh Hj. Gazali, S.MIQ, M.A (Pensarah Ilmu Al-Qur’an Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al-Qur’an “STAI-PIQ” Negeri Sumatera Barat, Indonesia) pada tahun 1998. Metod ini terdiri dari dua siri, iaitu Tartil I dan Tartil II. Tartil I adalah untuk memandu murid/pelajar mengenali huruf, membaca huruf berbaris satu, sukun, musyaddah dan tanwin. Manakala  Tartil II pula adalah untuk memandu murid/pelajar mempelajari Mad, Ghunnah, dan Waqaf wal Ibtida’. Sekiranya pembelajaran dilakukan setiap hari (satu kali pertemuan 1 Jam), murid/pelajar hanya memerlukan masa empat bulan untuk mempelajari kedua-dua siri metod Tartil tersebut.
            Pengalaman menggunakan metod ini kepada 400 buah Sekolah Rendah di Kota Padang, negeri Sumatera Barat semenjak tahun 1998 sehingga sekarang, dalam masa 4 bulan murid/pelajar telah dapat membaca Al-Qur’an mengikut kaedah yang betul dengan menggunakan seni membaca secara bertartil dan bertarannum. Sekarang metod ini telah dijadikan sebagai metod asas pembelajaran Al-Qur’an untuk seluruh sekolah Rendah di Sumatera Barat. Pada tahun 2004 metod ini juga telah di perkenalkan di Malaysia dan Singapore. Di Malaysia metod ini telah digunakan sebagai metod asas oleh kerajaan Negeri Sembilan sehingga sekarang.
            Berdasarkan pengalaman Penulis sendiri (Engkizar SIQ) yang dipercaya oleh pencetus Hj. Gazali, S.MIQ, M.A untuk mengembangkan kaedah ini, bermula dari bulan januari 2009 telah digunakan pula dipelbagai sekolah rendah yang ada di Selangor. diantaranya adalah Sekolah Sri Aesyah Bangi, Sekolah rendah Ugama Bukit Kapar Barat Klang, Sekolah Rendah Sri Al-Amin Sungai Tangkas. Dari beberapa pelaksanaan tersebut penulis berjaya dalam masa yang lebih singkat dalam melaksanakan pembelajaran kelas pemulihan al-Quran disekolah tersebut.
Agar penggunaan metod ini menjadi lebih berkesan, guru-guru perlu dilatih terlebih dahulu cara menggunakan metod ini sebelum mereka mengajarkan kepada murid/pelajar. Ini bertujuan supaya guru dapat mengajar mengikut silabus yang ditetapkan dalam buku panduan metod ini. Prinsip asas metod Tartil ini adalah menggunakan kaedah “Student Centre“. Guru perlu memiliki kreativiti untuk memandu pelajar dalam pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran mereka.
B.        Fenomena Pembelajaran Al-Qur’an Saat Ini
Latar belakang diperkenalkan metod ini adalah setelah melihat fenomena metod pembelajaran Al-Qur’an yang berkembang saat ini. Diantaranya adalah metod Bagdadiyah, Iqra’, Qira’ati, dan Basmallah, didapati masih banyak ruang-ruang yang boleh diperbaiki, diantaranya dari segi masa dan menarik minat murid/pelajar supaya tidak jenuh dan bosan, kerana belajar terlalu lama. Metod-metod sedia ada memerlukan masa yang agak lama untuk membolehkan pelajar membaca Al-Qur’an. Masa belajar yang terlalu lama dan metod yang kurang menarik, mengakibatkan ramai murid/pelajar tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan baik, ataupun tidak boleh membaca langsung.
C.    Cara Pengajaran Metod Tartil
Terdapat empat komponen asas yang menjadikan metod ini lebih praktis dan lebih cepat berbanding dengan metod lain, iaitu:
(i)   Materi diberikan dalam bentuk lisan dan tulisan.
(ii)  Masa yang diperlukan hanya 27 kali pertemuan untuk Tartil I dan 22 kali pertemuan untuk Tartil II (1 kali pertemuan 45-60 minit). Dalam masa 4 Bulan murid/pelajar Insya Allah mampu membaca dan menulis Al-Qur’an dengan baik dan benar. Masa 4 bulan tersebut sudah termasuk masa untuk mengevaluasi, sekiranya ada diantara murid/pelajar yang agak lambat belajar.
(iii)  Adanya materi wajib yang harus diberikan iaitu Seni Tartilul Qur’an.
(iv)  Adanya materi Menulis ayat al-Quran dengan baik yang telah   disediakan lansung dalam buku yang digunakan.
            Satu kali pertemuan murid/pelajar diajarkan 1 hingga 3 huruf Hijayyah, dimulai daripada Surat Al-Baqarah dan seterusnya. Murid tidak dibenarkan melanjutkan materi, sekiranya mereka belum dapat mengenal dan melafazkan huruf-huruf tersebut dengan betul. Murid/pelajar disuruh mengulang kembali materi-materi yang dipelajari, diantaranya menulis huruf yang telah dipelajari. Dan  panduan cara menulis huruf dan ayat al-Qur’an telah disediakan dalam buku (Rujuk panduan Tartil I dan II). Guru lansung membimbing murid bagaimana cara menulis huruf hijayyah dengan baik dan benar. Keunggulan pada materi Lisan, guru dijadikan sebagai asas dalam pembelajaran. Guru membimbing untuk pengucapan huruf asas hijayyah sesuai dengan makhrajnya. Guru menuntun murid untuk membaca dengan berlagu apabila murid/pelajar telah mula belajar huruf-huruf berbaris.
              Untuk lebih mengukuhkan murid-murid mengingat huruf-huruf dan meteri yang dipelajari, setiap kali pertemuan murid diberikan tugas dan evaluasi yang menyeronokan. Selanjutnya mereka juga diberikan tugasan untuk mereka kerjakan di rumah. Tugasan-tugasan tersebut tidak membebankan murid/pelajar, malah mereka merasa seronok mengerjakanya, menunjukkan mereka bertambah faham dengan huruf-huruf dan materi yang dipelajari. Tugasan-tugasan tersebut di evaluasi secara bersama-sama dengan murid/pelajar yang lain. Kaedah ini lebih memperkukuhkan lagi materi-materi yang telah mereka pelajari.
Semenjak diperkenalkan metod ini tahun 1998 hingga sekarang,  lebih kurang 30 ribu murid/pelajar Sekolah Rendah dan Menengah telah belajar menggunakan metod ini di Negeri Sumatera Barat, Indonesia. Murid-murid yang sebelumnya dikatakan sebagai murid yang lambat belajar (slow leaner) didapati telah berjaya membaca Al-Qur’an dengan baik. Daripada 27 kali pertemuan (1x pertemuan 45-60 minit) untuk Tartil I, murid/pelajar telah mampu membaca dan menulis Huruf Al-Qur’an dengan baik. 22 kali pertemuan (1x pertemuan 45-60 minit) menggunakan Tartil II, murid/pelajar telah mengenali ilmu tajwid praktis (mad, gunnah, wakaf dan ibtida’ dan seterusnya), yang membolehkan mereka membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam seni Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan bakatnya dimilikinya.
Dalam pembelajaran, guru terus menunjukkan cara membaca Al-Qur’an dengan seni, sehingga pelajar/murid lebih mudah mempraktekkan ilmu tajwidnya, karena mereka ditunjukkan cara membaca dengan irama tartil. Melalui irama Tartil murid/pelajar dapat belajar cara membaca Al-Qur’an mengikut kaedah yang betul, sebagaimana layaknya membaca Al-Qur’an tersebut. Membaca dengan seni menjadikan bacaan  terdengar lebih indah dan merdu. Saat murid/pelajar membaca suatu surat dalam al-Qur’an murid/pelajar lain berkesempatan untuk mendengar dan memperhatikan bacaan kawan mereka, sehingga pembelajaran jadi menyeronokan dan tidak membosankan.