KONSEP BERMAIN BAGI ANAK USIA DINI
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
bagi anak usia dini atau anak usia 0-8 tahun, sejak lama telah menjadi
perhatian para orang tua, para ahli pendidikan, dan pemerintah. Hal ini
karena begitu bermakna dan menentukan pendidikan pada masa usia dini
tersebut bagi jenjang pendidikan dan perkembangannya di masa depan. Pada
masa ini pendidikan, sesuai dengan watak anak, berlangsung dalam bentuk permainan. Karena itu, melarang bermain bagi anak sama dengan melarang anak belajar.
Dalam
kehidupan masyarakat banyak dijumpai para orang tua yang kurang atau
tidak menyadari betapa pentingnya masalah bermain ini bagi tumbuh
kembang anak, sehingga para orang tua tidak pernah memberikan perhatian,
apalagi secara terencana untuk memfasilitasi kecenderungan tabiat
bermain anak tersebut, apalagi secara terprogram. Bahkan tidak jarang
orang tua tidak sabar dan merasa kesal bila melihat anaknya bermain
dengan mengacak-acak barang yang dimainkannya.
Tidak jarang orang tua memilih agar rumahnya tetap tampak rapih, tidak disentuh-sentuh,
dicorat coret dan atau membatasi anaknya yang akan bermain, sehingga
tanpa disadari bahwa secara substansial ia telah mengabaikan pertumbuhan
dan perkembangan anaknya. Akibatnya, banyak potensi anak yang
semestinya berkembang dengan baik akan mengalami hambatan dan bahkan
mati.
Tulisan
sederhana ini akan mengetengahkan tentang kapan waktu yang tepat bagi
anak untuk bermain dan pertama mendapatkan pendidikan, bagaimana konsep
bermain yang dikemukakan oleh para tokoh, baik dari tokoh klasik, modern
dan kontemporer, dan sebagainya sehingga dapat menjadi media diskusi
bagi para pendidik dan orang tua bagaimana sebaiknya menangani dan mendidik anak pada usia dini.
B. PERKEMBANGAN KOSEP BERMAIN
Walaupun
para ilmuwan sulit untuk mengetahui kapan pendidikan anak usia dini
dilaksanakan untuk pertama kali, namun diperkirakan sejak para ahli
filsafat seperti Plato ( 427-374 B.C ) dan Aristoteles ( 394-332 B.C )
pendidikan ini telah dilaksanakan ( Seefeldt dan Barbour, 1994:2 ).
Plato
mengemukakan bahwa waktu yang paling tepat untuk pendidikan anak adalah
sebelum usia 6 tahun. Menurut Comenius, pendidikan anak itu berlangsung
sejalan dengan bermain karena bermain adalah realisasi dari
pengembangan diri dalam kehidupan anak. Selanjutnya Johan
Pastalozi ( 1746-1827 ) berpendapat bahwa pendidikan dimulai dari rumah,
melalui berbagai kegiatan yang dilakukan anak pada waktu bermain dan
berbagai pengalaman indera yang dialaminya.
Adapun
pendapat yang menyatakan, bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah
usia sekolah dasar, yaitu usia tujuh tahun, ternyata tidaklah benar.
Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom,
seorang ahli pendidikan memperlihatkan, bahwa pertumbuhan sel jaringan
otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50 %, hingga usia 8 tahun
mencapai 80 %. Artinya apabila pada usia tersebut otak anak tidak
mendapatkan rangsangan yang optimal maka perkembangan otak anak tidak
akan berkembang secara maksimal.
Semakin
dini penanganan dan bentuk-bentuk rangsangan yang dilakukan orang tua/
pendidik terhadap anaknya maka hasilnya akan semakin baik. Sebaliknya,
semakin lama (lambat) anak mendapatkan penanganan dan bentuk-bentuk
rangsangan yang baik, maka semakin buruk hasilnya.
Plato
adalah filsuf pertama yang memandang arti penting bermain bagi seorang
anak. Plato melihat pentingnya nilai praktis yang ada dalam permainan.
Misalnya pelajaran Aritmatika untuk soal pembagian akan mudah diterima
oleh anak-anak dengan cara membagikan apel kepada mereka.
Sejarah
perkembangan teori bermain juga berdampak positif terhadap reformasi
pendidikan pada zaman realisme atau zaman baru. Zaman realisme abad 17
dipelopori oleh Johann Amos Comenius ( 1592-1670 ). Comenius yang
beragama Kristen Protestan itu mempelajari teologi dan menjadi pendeta
serta memimpin sekolah di Fulneck. Dia menulis buku tentang
informatorium. Buku tersebut berisi tentang cara bagaimana orang tua
mendidik anaknya menjadi seorang Kristen Protestan yang baik. Menurutnya
seorang ibu adalah seorang pendidik di rumah, ibu harus mengajarkan
dengan mengoptimalkan fungsi panca indera melalui peragaan dan
mengurangi verbalisme.
Pada
abad 18 atau zaman rasionalisme merupakan zaman perubahan yang hebat.
Hal ini karena untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus yang hebat. Dalam
hal ini, untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus dilakukan melalui
percobaan, pengamatan dan pengalaman. Dalam
konteks belajar sekarang ini, maka konsep belajar di atas hampir setara
dengan konsep learning to know, learning to do, learning to be dan
learning to live together.
John
Lock ( 1932-1704 ) adalah seorang pedagogik. Lock menjelaskan kosep
home Schooling. Anak usia dini harus dididik dan diajarkan tentang
pendidikan jasmani, pendidikan scholastik, pendidikan moral, pendidikan
agama melalui permainan. Pemikiran Locke dianjurkan oleh Jean Jacques Rousseau ( 1712-1778 ). Ia mengajarkan pendidikan rohani, moral, jasmani,
berenang, pemahaman jender, melatih indera anak, kebebasan bermain,
pengamatan, pengalaman, bahasa asing, menyanyi, menggambar pada anak
usia dini melalui pengenalan alam sekitar dimana anak berada.
Henrich
Pestaloozi ( 1746-1827 ) menjelaskan konsep bermain dengan praktek
langsung sehingga anak mempunyai pengalaman dan latihan. Rumah adalah
tempat anak bermain. Konsep bermain bagi anak usia dini mengajarkan
tentang berhitung, menulis,bercakap-cakap, gerak badan, berjalan-jalan
dengan bermain. Pestalozzi menjelaskan bahwa melalui bermain maka anak
usia dini secara alamiah akan berusaha mengembangkan kemampuan-kemampuan
dasarnya untuk belajar. Friedrich Froebel ( 1782- 1852 ) menjelaskan
bahwa konsep bermain merupakan proses belajar bagi anak usia dini. Anak
diajak bekerja di kebun, bermain dengan pimpinan, bernyanyi, pekerjaan
tangan atau keterampilan, bersosialisasi, berfantasi, adalah merupakan
proses belajar sambil bekerja. Konsep belajar seraya bermain ini sampai
saat ini masih menjadi trend untuk pendidikan anak usia dini.
Abad 19 terdapat Spencer, Lazarus, G. Stanley H., Hal Groos. Dll.
Teori-teori tentang bermain dapat dikelompokan dalam 2 bagian, yaitu:
(1) bermain yang didasarkan pada teori surplus energi dan teori
rekreasi, (2) teori rekapitulasi dan praktis. Herbert Spencer ( kakek
moyang Lady Diana ) dari Inggris dalam bukunya Principles of Psychology
berpendapat bahwa kegiatan bermain seperti berlari, berlompat, berguling
terjadi akibat anak kelebihan energi. Sebagai contoh, Saila, umur 9
bulan, begitu ia terjaga dari tidur maka ia langsung tertawa
dan merangkak lalu berpegangan kedinding tangga dan meraih benda atau
mainan apa saja yang menarik hatinya kemudian memainkannya lewat tangan,
atau mulutnya sampai bosan kemudian beralih ke benda
lain, seperti kertas dan plastik atau mainan lainnya untuk dimainkannya
sampai capek dan tidur. Begitulah anak bermain dan ia belajar dari apa
yang ia lihat, dengar, cium dan pegang dalam kehidupannya, seolah tanpa
lelah, karena ia memang kelebihan energi dan merasa puas bereksplorasi dengan menyenangkan. Bila
ia diganggu, dirampas apa yang ia pegang atau apa yang ia mainkan, maka
ia akan menangis, kecuali diberikan benda pengganti yang sama-sama
menarik untuk dirinya.
Moritz
Lazarus dengan teori rekreasi menjelaskan, bahwa tujuan bermain adalah
untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bergerak atau melakukan
sesuatu. Melakukan sesuatu atau bekerja dapat menyebabkan berkurangnya
tenaga. Tenaga ini dapat dipulihkan kembali dengan cara tidur atau
melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan bekerja.
Karl Groos, seorang filsuf menguraikan bahwa bermain
berfungsi untuk memperkuat insting yang diperlukan untuk kelangsungan
hidup anak di masa yang akan datang. Ia mendasarkan teorinya itu pada
prinsip seleksi alamiah yang dijelaskan oleh Charles Darwin. Fungsi
bermain mempunyai manfaat secara biologis untuk mempertahankan
kelangsungan hidup.
Pada zaman modern sekarang ini
memang sudah banyak sekali para ahli pendidikan yang membicarakan
tentang bermain dan hubungannya dengan perkembangan anak, antara lain:
1. Teori Psikoanalis Sigmund Freud
2. Teori Kognitifa, Jean Piaget, Lev Vygotsky, dst.
3. Teori Perkembangan sosial, dls.
Peran bermain dalam perkembangan
sosial anak misalnya, menurut pandangan psikoanalisis adalah untuk
mengatasi pengalaman traumatik dan keluar dari rasa frustasi. Tampaknya
Freud melihatnya dalam pengalaman lahir. Dalam peristiwa kelahiran
seorang bayi menyiratkan kesan tidak enak, trauma dan mungkin juga
frustasi keluar dari rahim ibunya, sehingga anak akan merasa tenang
dalam dekapan ibunya, dan bermain menyebabkan anak ceria dan menimbulkan
kreatifitas.
Bagi
Piaget, peran bermain terhadap perkembangan sosial anak adalah untuk
memperaktikkan dan melakukan konsolidasi konsep-konsep serta
keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya.
Menurut Vygotsky, bermain dapat memajukan berpikir abstrak dan dengan belajar ia akan dapat mengatur dirinya.
Dalam teori perkembangan sosial,
seperti yang dikemukakan oleh Mildred Farten, menyatakan bahwa kegiatan
bermain merupakan sarana sosialisasi. Dengan bermain kadar interaksi
sosialnya akan meningkat. Kadar interaksi sosial tersebut
dimulai dari bermain sendiri dan dilanjutkan dengan bermain secara
bersama. Karena itu dalam konteks ini akan tampak, bahwa anak yang
dibiasakan bermain akan lebih mudah menerima kehadiran orang lain dan
berinteraksi dengan orang lain. Semakin banyak ia disosialisasikan
dengan orang lain, maka akan semakin mudah ia berinteraksi dengan dan
menerima (kehadiran) orang lain.
Dalam kontes agama Islam, setelah persalinan anak akan
diadzankan oleh orang tuanya kemudian setelah tujuh hari ia akan diberi
nama dan diakekahkan serta dipotong rambutnya di hadapan undangan yang
diiringi dengan lagu-lagu pujian. Semua itu akan sangat menyenangkan
bagi anak dan merupakan pengalaman interaksi sosial yang sangat baik
dari proses sosialisasi.
C. MAKNA BERMAIN
Para
ahli mendefinisikan bermain sebagai suatu perilaku yang mengandung
motivasi internal yang berorientasi pada proses yang dipilih secara
bebas dan bukan hanya prilaku pura-pura yang berorientasi pada suatu
tujuan menyenangkan yang diperintahkan. Kegiatan bermain ini adalah
fungsi dari seluruh manusia.Sandra J, Stone (1993). Karena itu, bermain
dilakukan oleh siapa saja di berbagai belahan dunia, baik laki-laki
maupun perempuan dari anak-anak sampai orang dewasa. Stone mengatakan
bahwa bermain ada di setiap negara, budaya, bahasa, dimana saja anak-anak dunia bermain.
Menurut Karl Buhler dan Schenk Danziger, bermain
adalah ”kegiatan yang menimbulkan kenikmatan”. Dan kenikmatan itu
menjadi rangsangan bagi perilaku lainnya. Ketika anak-anak mulai mampu
berbicara dan berfantasi, misalnya, fungsi kenikmatan meluas menjadi
schaffensfreude (kenikmatan berkreasi). Konsep ini dikembangkan lebih
lanjut oleh Charlotte Buhler yang menganggap bermain sebagai pemicu
kreativitas. Menurutnya anak yang banyak bermain akan meningkatkan
kreativitasnya.
Kendati bermain bukanlah bekerja dan tidak sungguh-sungguh, Sigmund
Freud yakin bahwa anak-anak menganggap bermain sebagai sesuatu yang
serius. Dalam bermain anak-anak menumpahkan seluruh perasaannya. Bahkan
mampu ”mengatur dunia dalamnya” agar sesuai dengan ”dunia luar”. Ia
berusaha mengatur, menguasai, berpikir dan berencana. Karenanya menurut
Erik Erikson, bermain berfungsi memelihara ego anak-anak. Hal ini dapat
dipahami karena anak yang sedang bermain merasakan senang sehingga
terpaksa ia harus mempertahankan kesenangannya itu atau sebaliknya ia
akan memelihara egonya secara proporsional, sehingga menimbulkan
rasionalitas dan tenggang rasa terhadap anak lainnya. Semakin intens pengalaman itu dilalui anak akan semakin kuat juga interaksi sosialnya dalam proses sosialisasi tersebut.
Jean
Piaget menyatakan, bahwa bermain menunjukkan dua realitas anak-anak,
yaitu adaptasi terhadap apa yang sudah mereka ketahui dan respon mereka
terhadap hal-hal baru. Dalam bermain, sarana sering menjadi tujuan.
Banyak respon muncul, ya demi respon itu sendiri. Anak berlari, misalnya, bukan demi kesehatan tetapi demi lari itu sendiri. Lari ya lari, titik.
Jadi bagi anak, bermain adalah sarana untuk mengubah kekuatan potensial di dalam diri menjadi berbagai kemampuan dan kecakapan. Bermain juga bisa menjadi sarana penyaluran kelebihan energi dan relaksasi.